
Assalamu’alaikum. Ustadz, seorang gadis siap menjadi istri kedua (dipoligami). Namun ayahnya tidak mengijinkan tanpa alasan yang syar’i. Agaknya ia tidak mau anaknya dipoligami. Bagaimana ayah (wali) yang demikian itu? Bolehkah ia diganti dengan wali hakim?
Jawaban
Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.
Jika ayah (wali) tidak mengijinkan anak gadisnya menikah, hendaknya anak tersebut tidak memaksakan pernikahannya. Mengapa? Karena ketika seorang anak memaksa menikah sementara orangtuanya tidak mengijinkan, nanti potensi tidak terteramnya akan besar. Misalnya orangtuanya marah dan anaknya tidak diakui, itu justru menjadi masalah tersendiri.
Tentu seorang muslimah tidak mau hubungan dengan suaminya baik, tetapi hubungan dengan orangtuanya rusak. Orang tua, seburuk apapun dia, tidak akan hilang nasabnya. Tidak ada bekas ayah, tidak ada bekas ibu.
Bagaimana mungkin kehidupan seorang anak bisa tenang dan tenteram jika hubungannya dengan orang tua tidak baik. Padahal di antara tujuan pernikahan adalah hadirnya ketenangan (sakinah) dalam keluarga.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Jawaban
Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.
Jika ayah (wali) tidak mengijinkan anak gadisnya menikah, hendaknya anak tersebut tidak memaksakan pernikahannya. Mengapa? Karena ketika seorang anak memaksa menikah sementara orangtuanya tidak mengijinkan, nanti potensi tidak terteramnya akan besar. Misalnya orangtuanya marah dan anaknya tidak diakui, itu justru menjadi masalah tersendiri.
Tentu seorang muslimah tidak mau hubungan dengan suaminya baik, tetapi hubungan dengan orangtuanya rusak. Orang tua, seburuk apapun dia, tidak akan hilang nasabnya. Tidak ada bekas ayah, tidak ada bekas ibu.
Bagaimana mungkin kehidupan seorang anak bisa tenang dan tenteram jika hubungannya dengan orang tua tidak baik. Padahal di antara tujuan pernikahan adalah hadirnya ketenangan (sakinah) dalam keluarga.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ
فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir" (QS. Ar Rum: 21)
Karena itu, menikah hendaknya dikomunikasikan jauh-jauh hari sebelumnya agar semua meridhai pernikahan tersebut. Insya Allah yang namanya orangtua jika didekati anak, anak berkomunikasi dengan baik, ia akan mengabulkan permintaan anaknya. Sebab setiap orangtua pasti ingin melihat anaknya bahagia, pasti ingin anaknya berlimpah kebaikan. Jika mereka tidak mengijinkan, mungkin mereka melihat ada ketidakbaikan dalam suatu masalah.
Jika anak tersebut sudah berusaha berkomunikasi dengan baik tetapi belum berhasil, hendaklah ia melibatkan tokoh atau ustadz yang bisa menjadi referensi bagi orangtua. Sehingga orangtua dapat mengerti dan menerima.
Seorang wanita jangan memaksakan diri untuk menikah tanpa ijin walinya. Sebab pernikahan tanpa wali tidak sah. Wali merupakan salah satu rukun nikah.
لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi” (HR. Ibnu Hibban; shahih)
Dan tidak boleh seorang wanita mengambil wali hakim sedangkan wali nasabnya (ayah) masih ada. Sehingga dalam kasus ini, jika seorang gadis memaksa menikah tanpa ijin ayahnya dengan menggunakan wali hakim, maka pernikahannya tidak sah. [Tarbiyah.net]
Disarikan dari jawaban Ustadz Agung Cahyadi, Lc, MA
0 comments:
Post a Comment